Jebakan Media Sosial dan Tantangan Literasi (Digital)

Dilihat: 778 kali
Kamis, 09 Juli 2020

Jš—²š—Æš—®š—øš—®š—» š— š—²š—±š—¶š—® š—¦š—¼š˜€š—¶š—®š—¹ š—±š—®š—» š—§š—®š—»š˜š—®š—»š—“š—®š—» š—Ÿš—¶š˜š—²š—æš—®š˜€š—¶ (š——š—¶š—“š—¶š˜š—®š—¹)

Kita terlanjur masuk perangkap media sosial. Kenapa disebut perangkap, lantaran kita belum mampu menyeimbangkan antara kecerdasan sebuah alat dan kecerdasan pengguna, pendek kata belum sebanding antara smartphone dan smartpeople.

Alat komunikasi menjadi kebutuhan primer, posisinya seolah menjadi kebutuhan dasar sebagaimana sandang, pangan, papan dan kini ditambah dengan casan. Jika saja A. Maslow masih hidup, mungkin gadget menjadi kebutuhan dasar manusia dan menempati piramida paling primer.

Media sosial, sebuah terminal atau pasar yang padat lalu lintas manusia berinteraksi, mengais informasi-mengais rejeki lewat transaksi, meraup keuntungan dan besar manfaatnya yang semua itu tidaklah bergantung pada ketersediaan lautan informasi saja melainkan juga kecakapan manusia dalam memanfaatkannya.

Tidak sedikit gangguan informasi (information disorder) yang bersumber dari kanal media sosial. Sementara, pertumbuhan kuantitas pengguna internet khususnya di Indonesia (sekitar 171 juta, pada tahun 2018, APJII), tampaknya belum sepenuhnya diimbangi dengan kematangan perilaku pengguna internet itu sendiri.

Persentase pengguna media sosial yang cukup tinggi akan menghadapi jebakan gangguan informasi berupa informasi hoaks, yang mana hoaks tersebut, 87,50% didapat atau bersumber dari media sosial (Survey Mastel tentang wabah Hoaks pada tahun 2019).

Meskipun survey ini dilakukan terhadap kategori dan jumlah responden yang terbatas, namun hal tersebut dapat menjadi sebuah miniatur atau cermin realitas dinamika media sosial.

Gangguan informasi berupa hoaks pun terjadi pada aplikasi percakapan dengan persentase yang cukup tinggi (67%), dibandingkan dengan media lainnya seperti website, media cetak, email, televisi, atau bahkan radio.

Banyaknya hoaks berseliweran di media sosial tidak hanya menunjukkan tingginya pengguna media sosial, namun juga betapa netizen mengganggap penting dan vital sebuah media sosial dengan segala kemudahan, kepraktisan, keluasan, dan kecanggihannya.

Bahkan website dan media informasi berupa berita online pun mensubordinasi kepada media sosial. Sehingga orang akan mendapatkan berita dari media x kerap lewat - nyantol di media sosial (menampilkan link). Media sosial seakan menjadi mainstream media, rajanya kanal dari sub-sub kanal.

Hoaks-disengaja atau tidak, tentu saja sangat merugikan. Namun jauh yang lebih penting, bagaimana kita tahu bahwa sebuah berita itu disebut hoaks?

Sebetulnya di dalam media sosial itu sendiri banyak ruang informasi yang sehat, artinya pada sebuah pasar yang becek atau terminal yang kumuh masih ada ruang-ruang bersih dan perkakas untuk membersihkan kotoran tersebut.

Artinya, banyak informasi yang dapat dijadikan pengetahuan manusia agar menjadi cerdas, dan lebih dari itu menjadjli arif dan bijak dalam menyikapi persoalan, terutama menyikapi sebuah informasi.

Salah satu titik tekan dasarnya pada bukan pada level kemampuan melainkan kemauan orang untuk mebiasakan "membaca dengan seksama".

Membaca dengan seksama bukan sekedar membaca sekilas lantas meyakininya dengan begitu saja, melainkan ada proses pengkritisan terhadap sebuah bacaan, apakah informasi itu bermanfaat, apakah sebuah informasi yang dicari dan diterima mengandung nilai kebenaran baik secara nalar, moral, dan sosial.

Disinilah tantangan publik dalam hal ini netizen, untuk membiasakan pola hidup berliterasi, atau bersikap literatif. (snd